Rabu, 07 Maret 2012

Memasak dengan Biogas kotoran Sapi


VIVAnews - Inovasi energi alternatif seperti tak mengenal kata selesai. Mulai dari gelombang laut yang diyakini mampu menghasilkan energi listrik yang tak sedikit, limbah buangan pun telah dibuktikan mampu menghasilkan energi.


Warga di Nagari Kasang, Kecamatan Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, pun terbilang sukses menekan penggunaan energi minyak untuk kebutuhan keluarga. Biogas organik hasil dari kotoran sapi peliharaan Marsilam (57 tahun) mampu mengasapi dapurnya dan menekan konsumsi minyak tanah.


Menurut Marsilam, dalam tiga bulan belakangan, keluarganya menekan biaya pengeluaran sebesar Rp150 per bulan sejak menggunakan biodigester hasil kotoran sapi peliharaannya. Dari tiga ekor sapi miliknya, kotorannya dapat mengepulkan asap dapur Marsilam hingga 2,5 jam tanpa henti.


“Untuk keperluan keluarga sehari-hari, saya tidak pakai minyak tanah lagi,” kata Marsilan pada VIVAnews, Selasa, 6 Maret 2012. Hasil ini terbilang cukup ekonomis dibanding sebelum Marsilan menggunakan biogas dari hasil kotoran sapinya.






Upaya memanfaatkan kotoran sapi ini tidak sengaja. Berawal dari penggunaan kotoran sapi sebagai kompos (pupuk organik), tenaga ahli dari program USAID FIELD Bumi Ceria menawarkan langkah ekonomis menampung gas methana dari kotoran sapi.


Tim dari FIELD memberikan mereka plastik PE (polythene) untuk membangun instalasi proses kotoran sapi menjadi biogas. Biogas ini lalu disalurkan ke kompor gas. 


“Ampasnya (sisa dari proses pembentukan gas dari kotoran sapi) juga digunakan sebagai kompos untuk padi saya,” kata Marsilam. Hasilnya, hasil panennya meningkat 25 persen.


Meskipun baru mengenal proses ini, ia pun mengaku, proses ini lebih ramah lingkungan dan mengurangi efek rumah kaca penyebab global warming. Kini, teknologi yang awalnya dibangun di kediaman Marsilan telah dikembangkan hingga ke Kabupaten Pesisir Selatan dan Kabupaten Padang Pariaman. “Pembentukan biogas dengan konsep seperti kita telah dikembangkan ke beberapa daerah,” ujarnya.

Modal Rp650 Ribu



Biogas memang bukan hal baru bagi Sumbar. Namun dua tahun belakangan, penggunaan energi ini marak dikembangkan. Selain itu, teknologinya pun makin murah dan terjangkau.


Program Manager USAID’s FIELD Bumi Ceria, Syafrizaldi, pada VIVAnews mengaku, pihaknya hanya membantu tenaga teknis dan biaya sebesar Rp650 ribu untuk membangun sistem hingga ke dapur Marsilam. “Dengan teknologi tepat guna, dan biaya hanya Rp650 ribu, api sudah menyala di dapur Pak Marsilam,” kata Syafrizaldi.


Menurut Syafri, penggunaan biogas ini merupakan bentuk kesiapan membangun nagari (desa) tangguh menghadapi bencana dan mengurangi efek rumah kaca dari kotoran sapi milik warga. Setidaknya, sekitar 360 ekor milik warga di desa tersebut membuang gas methana ke alam terbuka setiap hari lewat kotorannya.


Kondisi ini dipertegas dengan keasaman tanah di desa tersebut yang cenderung digarap menjadi areal persawahan dan perkebunan. Hasil asestment FIELD, tanah pertanian di Kasang jenis Ultisol (Podzolik Merah Kuning) dengan tingkat keasaman antara agak masam (pH 5,5—5,9) dan netral (pH 6—7,5) di areal seluas 623 hektare.


“Kondisi anaerob ini memugkinkan terjadinya proses produksi rumah kaca berupa methana dalam lumpur sawah yang pada gilirannya akan menyumbang pada pemanasan global,” kata Syafri.


Instalasi biogas yang menjadi pilot project di Nagari Kasang disiapkan September 2011 lalu. Tim ahli biogas dari Yayasan FIELD membangun instalasi biogas murah merancang biodigester yang mampu menampung kotoran dan urin dua ekor sapi. Lubang dengan kedalaman 1 meter dan panjang 5 meter serta lebar 1 meter akan menampung kotoran dan urine sapi.


Tabung digester yang terbuat dari plastik akan menampung gas methana yang dihasilkan kotoran sapi tersimpan dengan baik serta dapat dialirkan ke rumah warga. Instalasi pipa akan membantu penyaluran biogas yang tertampung dalam digester yang sebelumnya telah dicampur lumpur sawah untuk mempercepat proses biogas sebelum bisa digunakan.


Proses methanogesesis (pembuatan gas methana dari kotoran sapi) akan terbentuk sekitar 20 hari sehingga bisa digunakan layaknya menggunakan kompor gas. Biodegester hanya diisi sekitar tiga perempat bagian dengan kotoran sapi sehingga bisa berproses untuk membentuk gas methana. Sedangkan untuk mengisi biodigester hanya dibutuhkan kotoran dari dua ekor sapi saja.


Kepala Dinas Pertanian dan Holtikultura Sumbar, Joni, mengaku, program tersebut merupakan pengembangan dari pertanian organik yang menjadi kebijakan daerah. “Kita terus memfasilitasi ini dan telah dikembangkan dalam dua tahun belakangan,” ujar Joni.


Ia mengaku, dari awal pihaknya telah mengkampanyekan ini dengan konsep mengurangi penggunaan pupuk kimia di areal pertanian Sumbar. Terkait penggunaan biogas dari kotoran sapi dan perubahan iklim, dalam waktu dekat pihaknya akan menggelar pelatihan bagi kelompok tani.


“Kami akan dukung itu dan pemerintah daerah akan terus memfasilitasinya. Ini kan bagian dari pertanian organik,” ujarnya.
• VIVAnews

0 komentar:

Posting Komentar

Baca artikel lainnya juga ya.. Kalau Sempat, tinggalkan komentar .

Popular Posts

Sahabat Blogger